Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk

Mencari Keadilan dalam Masyarakat Majemuk Empat Model Keadilan Politis”, F. Budi Hardiman


1404876922715646034
Oleh : Ahmad Faisal
Jika di Eropa etnosentrisme dan fundamentalisme agama menjadi daya sihir baru pasca runtuhnya Unisoviet, maka di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru dianggap menjadi pemicu relativisme nilai-nilai dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah.  Semuanya terkerucutkan dalam sebuah istilah yang dinamakan keadilan.  Keadilan menjadi penting karena di Indonesia masyarakatnya cenderung majemuk, sementara itu ada banyak kata “ingin” yang dilontarkan oleh setiap jenis orang/kelompok dalam kemajemukan tersebut.  Secara garis besar, ada empat macam keadilan politis yang ditayangkan oleh F. Budi Hardiman, yaitu keadilan komunitarian, liberal, multikultural, dan dilengkapi dengan keadilan transformasional.  Pertanyaan besarnya adalah bagaimana keadilan dapat diwujudkan dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia?

Pertama, model keadilan komunitarian di dalamnya terdapat perjuangan untuk mengangkat politik pengakuan yang menginginkan konsep pra politis suatu kelompok menjadi keadilan politis.  Dalam hal ini, nilai keutamaannya adalah komunitas religo-kultural yang diangkat secara politis, bukan kesepakatan politis yang diinginkan.  Sehingga dapat menimbulkan supremasi hukum agama mayoritas atas hukum negara, seperti kalau di Indonesia munculnya aliran Islam Ahmadiyah, misalnya.  Keadilan kedua, yaitu keadilan liberal yang menekankan adanya netralitas posisi negara di hadapan orientasi nilai partikular etnis dan religius.  Pada model ini negara harus cermat dan mementingkan politik redistribusi/redistribusi sosial daripada politik pengakuan.
Keadilan multikultural merupakan jenis keadilan ketiga.  Pada keadilan multikultural, negara tetap bersifat liberal, hak-hak kosmopolitan individu dijamin, namun negara juga menjamin hak-hak kultural kelompok.  Keadilan multikultural berarti memberikan hak-hak kolektif yang sama kepada semua kelompok kultural untuk memelihara dan mengungkapkan tradisi dan identitas kolektif mereka.  Selanjutnya, keempat adalah keadilan transformasional usulan Hardiman yang dirasa lebih cocok untuk masyarakat majemuk dunia ketiga yang sedang terglobalisasi seperti masyarakat Indonesia.
Pandangan ini mengacu pada dua teori, yaitu teori diskursus Jurgen Habermas dan dekonstruktivisme Jacques Derrida.  Titik tolaknya adalah bahwa dalam kenyataan demokrasi, pandangan pra politis tentang keadilan dapat dan harus ditransformasikan.  Dalam teori diskursus, para warga negara dari berbagai macam kelompok etnis maupun religius diposisikan berdiri setara dalam proses komunikasi publik untuk mengambil keputusan publik.  Jika dari teori dekonstruktivisme keadilan yang dimaksud adalah suatu keprihatinan dan tanggung jawab tak terbatas untuk mendengarkan yang lain dalam keberlainannya.
Artinya, kedua teori tersebut dalam hal ini keadilan transformasional adalah suatu upaya untuk memenuhi tuntutan kesamaan sekaligus satu sikap yang tepat terhadap kemajemukan cara-cara hidup di dalam masyarakat.  Yang membedakan terutama dengan keadilan liberal adalah keadilan transformasional memposisikan aspirasi kelompok etnis maupun eligius sebagai titik tolak komunikasi publik.  Namun, tidak serta merta hak kolektif diproteksi, tetapi didorong untuk komunikasi karena hak-hak komunikasi mendapat prioritas seperti halnya menurut Nancy Fraser bahwa semua kelompok sosial, etnis, maupun religius memiliki status yang setara dan hak komunikasi yang sama dalam demokrasi.
Hak komunikasi yang ada nampaknya memberikan dimensi hak azasi manusia dalam proses penentuan kebijakan publik.  Perspektif etnosentrisme harus dikesampingkan dan dalam prosesnya ada keberlainan yang tidak sedikit.  Sehingga, perlu adanya ‘mendengarkan yang lain’ agar berbagai kelompok dapat melihat norma dan konsep pra politis itu dalam dimensi HAM.
Keadilan politis bukan diletakkan di masa lalu ataupun masa kini, tetapi di masa depan.  Karena dari teori Derrida mengatakan bahwa keadilan terlaksana justru jika suatu tindakan menuntut kita untuk mengikuti sistem aturan, keadilan menuntut kita untuk melakukan interpretasi atas aturan seolah-olah kita adalah penemu aturan yang baru.  Adanya fakta pluralitas mengharuskan setiap agama melihat dirinya melalui sudut pandang pihak lain.  Hal ini sejalan dengan tuntutan demokrasi bahwa berbagai kelompok dalam masyarakat majemuk berupaya keras untuk mencapai saling pengertian.  Atau dalam istilah Habermas, pada diskursus rasional kelompok-kelompok yang cenderung keras kepala harus merelatifkan pandangan-pandangannya untuk mentransformasikan norma-norma komunitasnya yang dianggap eksklusif menjai keadilan politis yang melampaui kelompok partikular.

Comments

Popular posts from this blog

DIRECT DAN INDIRECT SPEECH